Berikut bahan untuk Alvin Adam cs di Metro TV  untuk Acara "Just Alvin."
Sampai detik ini tertanggal 7 Februari 2012, saya yang bernama Marissa Grace Haque Fawzi masih merasakan serangan cyber-bully dari yang diduga bernama Dee Kartika Djumadi. Saya sedang berpikir keras "harus diapakan" orang yang bersangkutan tersebut agar berdampak jera. Karena sejujurnya saya dan keluarga merasa sangat terganggu! Allahu Akbar...
Untuk mengetahui siapa yang bersangkutan pelaku teror cyber tersebut (diduga bernama Dee Kartika Djumadi) dan kualitas manusia seperti apa dirinya itu, alangkah baiknya kita semua pelajari informasi dari seorang sahabat bernama Mas Sony Kusumasondjaja FORUM KAHMI di DIKTI, sebagai berikut di bawah ini:
Sampai detik ini tertanggal 7 Februari 2012, saya yang bernama Marissa Grace Haque Fawzi masih merasakan serangan cyber-bully dari yang diduga bernama Dee Kartika Djumadi. Saya sedang berpikir keras "harus diapakan" orang yang bersangkutan tersebut agar berdampak jera. Karena sejujurnya saya dan keluarga merasa sangat terganggu! Allahu Akbar...
Untuk mengetahui siapa yang bersangkutan pelaku teror cyber tersebut (diduga bernama Dee Kartika Djumadi) dan kualitas manusia seperti apa dirinya itu, alangkah baiknya kita semua pelajari informasi dari seorang sahabat bernama Mas Sony Kusumasondjaja FORUM KAHMI di DIKTI, sebagai berikut di bawah ini:
Sent: Tuesday, January 17, 2012 7:47 PM
Subject: tentang kartika dee
  
Subject: tentang kartika dee
   Assalamualaikum wr.wb. 
Mungkin sebagian rekan Diktiers sempat mendengar adanya konflik yang melibatkan artis lawas yang saat ini masuk ke dunia politik - Marissa Haque. Konflik yang sedang hangat muncul di tayangan infotainment Indonesia tersebut memang bersumber pada Marissa Haque sedang terlibat perang di media Twitter dengan musisi senior, Addie MS - beserta istrinya, Memes, dan putranya, Kevin Aprilio. Namun, mungkin tidak banyak yang paham, bahwa konflik tersebut bermula dari ketersinggungan Marissa Haque yang dituding oleh seseorang di media Twitter juga. Tuduhan tersebut mengatakan bahwa disertasi Marissa Haque di Program S3 IPB sebenarnya tidak layak diluluskan karena dibuatkan orang lain. Nah, masalah menjadi berkembang ke mana-mana bahkan sampai melebar ke konflik pribadi antara Marissa Haque dengan keluarga Addie MS.
Bagi yang ingin memahami kronologis kisahnya, silakan mengunjungi/membaca notes yang saya tulis di Facebook saya yang berjudul "Sebuah Catatan tentang Perang Kamseupay".
Nah, di sini saya tidak akan mengupas masalah kehidupan selebritis kita yang memang seringkali tidak bisa masuk dalam nalar saya. Saya ingin menyoroti soal tuduhan kepada Marissa Haque tentang disertasinya; lebih tepatnya menyoroti tentang "siapa sebenarnya yang melontarkan tuduhan tersebut".
Saya juga tidak paham, bagaimana Kemendiknas atau Dikti/Ditnaga atau Universitas Indonesia atau Universitas Paramadina atau lembaganya Paramadina Public Policy Institute akan merespon dugaan pemalsuan gelar ini.
Terima kasih
SONY KUSUMASONDJAJA
Dear rekan-rekan Diktiers, 
Mungkin sebagian rekan Diktiers sempat mendengar adanya konflik yang melibatkan artis lawas yang saat ini masuk ke dunia politik - Marissa Haque. Konflik yang sedang hangat muncul di tayangan infotainment Indonesia tersebut memang bersumber pada Marissa Haque sedang terlibat perang di media Twitter dengan musisi senior, Addie MS - beserta istrinya, Memes, dan putranya, Kevin Aprilio. Namun, mungkin tidak banyak yang paham, bahwa konflik tersebut bermula dari ketersinggungan Marissa Haque yang dituding oleh seseorang di media Twitter juga. Tuduhan tersebut mengatakan bahwa disertasi Marissa Haque di Program S3 IPB sebenarnya tidak layak diluluskan karena dibuatkan orang lain. Nah, masalah menjadi berkembang ke mana-mana bahkan sampai melebar ke konflik pribadi antara Marissa Haque dengan keluarga Addie MS.
Bagi yang ingin memahami kronologis kisahnya, silakan mengunjungi/membaca notes yang saya tulis di Facebook saya yang berjudul "Sebuah Catatan tentang Perang Kamseupay".
Nah, di sini saya tidak akan mengupas masalah kehidupan selebritis kita yang memang seringkali tidak bisa masuk dalam nalar saya. Saya ingin menyoroti soal tuduhan kepada Marissa Haque tentang disertasinya; lebih tepatnya menyoroti tentang "siapa sebenarnya yang melontarkan tuduhan tersebut".
Tuduhan tersebut dilontarkan oleh seseorang bernama Dyah Kartika Rini Djoemadi.    Siapa beliau..? Beliau adalah aktivis di berbagai organisasi profesi,    termasuk DPP HIPMI dan KADIN Indonesia. Beliau juga (pernah) aktif di    Partai Amanat Nasional dan pernah menjabat sebagai Ketua Departemen    Komunikasi Kreatif PP PAN pada sekitar 2007. Beliau memiliki perusahaan    konsultan kebijakan publik bernama SpinDoctor Indonesia. Dan beliau   juga  (pernah) menjabat sebagai senior fellows/experts di   Paramadina  Public Policy Institute, serta sebagai Dosen Pascasarjana di   perguruan  tinggi di Jakarta, termasuk di Universitas Indonesia. 
Yang menjadi persoalan  adalah bahwa Ibu Dyah Kartika Rini Djoemadi - atau biasa dipanggil  Kartika Djoemadi atau Dee Kartika - dalam berbagai kesempatan menyebut  dirinya sebagai lulusan PhD di bidang Ekonomi Makro dari Universiteit van Amsterdam, Belanda.    Hal ini bisa teman-teman baca dan lihat sendiri dalam print-out    berbagai situs di Internet yang saya rangkum dan saya attach di    postingan ini. Pengakuan sebagai lulusan PhD dari Amsterdam ini cukup    aneh, karena pada April 2007, beliau masih menyebut dirinya sedang    “menyelesaikan Program Doktoral di bidang Ilmu Komunikasi di Universitas    Indonesia” (lihat attachment “Dee Kartika di Media Massa4”), dan pada Februari 2009, beliau juga menyatakan “masih menyelesaikan disertasi di S3 Komunikasi UI” (lihat attachment “Dee Kartika di Media Massa5”). Namun,  pada bulan September 2011, di website Paramadina Public Policy Institute, pada halaman profil Senior Fellows/Experts di Institut tersebut, beliau menyebut diri sebagai PhD in Macro Economic from University van Amsterdam, the Netherland (lihat attachment “profil Paramadina Public Policy Institute (lama)”). Lalu, dalam berbagai profil beliau – mulai dari situs LinkedIn, MySpace, profil pendiri (founder) di website perusahaan SpinDoctors, profil Board of Director di website perusahaan SpinDoctors, dan lain-lain, beliau selalu menyebut diri sebagai PhD di bidang Ekonomi Makro dari Universiteit van Amsterdam. Semua informasi yang menjadi bukti-bukti statement ini sudah saya lampirkan dalam attachment. 
Nah,    pada tanggal 2 Januari 2012, seorang rekan PhD student yang sedang    menempuh studi di Leiden University bernama Buni Yani menanyakan kepada    beliau melalui email, apakah benar beliau lulusan PhD dari  Universiteit   van Amsterdam. Dan beliau mengiyakan. Setelah menanyakan  kebenaran hal   ini kepada pihak Universiteit van Amsterdam, ternyata  pihak  Universiteit  van Amsterdam memberikan klarifikasi melalui email  (lihat  attachment “Klarifikasi Universiteit van Amsterdam”) bahwa tidak pernah ada student bernama Dyah Kartika Rini Djoemadi terdaftar di Universiteit van Amsterdam. Bahkan, di website School of Economics Universiteit van Amsterdam (http://ase.uva.nl/aseresearch/object.cfm/objectid=DA8E9304-C6EB-4172-AD771508C05A11DB)    yang menampilkan daftar nama lulusan PhD yang berhasil mempertahankan    disertasinya di bidang Ekonomi Makro di universitas tersebut sejak   tahun  2005 sampai dengan 2011, tidak tercatat nama Dyah Kartika Rini    Djoemadi. Informasi dari rekan Aprina Murwanti (University of    Wollongong, Australia), DIKTI juga tidak pernah mencatat penyetaraan    ijazah luar negeri dari Belanda – dalam bidang ilmu apapun – atas nama Dyah Kartika Rini Djoemadi (silakan lihat http://ijazahln.dikti.go.id/v4/detail_negaraptr.php?kodept=604017&page=1 ). 
Pertanyaan yang mengusik benak saya adalah:
SATU  
Apabila    beliau menyelesaikan Master di Komunikasi UI pada tahun 2002 dan pada    April 2007 serta Februari 2009 mengaku masih menyelesaikan program    Doktoral di Komunikasi UI, lalu bagaimana bisa beliau mencantumkan gelar    PhD bidang Ekonomi Makro dari Universiteit van Amsterdam pada tahun    2011? Setahu saya, program Doktoral di Belanda tidak bisa diselesaikan    dalam waktu 2 tahun saja. Jadi, bagaimana mungkin..? 
DUA 
Apabila    nama beliau tidak terdaftar di database Universiteit van Amsterdam,    tidak tercatat sebagai lulusan di School of Economics, Universiteit van    Amsterdam, dan tidak tercatat dalam daftar lulusan luar negeri yang    menyetarakan ijazahnya di Dikti, lalu bagaimana bisa beliau  mencantumkan   gelar PhD bidang Ekonomi Makro, Universiteit van  Amsterdam dalam   berbagai kesempatan dan pada berbagai media..? 
TIGA
Kalau    memang beliau menempuh studi di Program Doktoral Komunikasi UI,    bagaimana mungkin beliau mendapatkan gelar PhD..? Bukankah UI memberikan    gelar DR – dan bukan PhD – kepada lulusan S3-nya..? Kalaupun beliau    lulusan dari S3-UI, bagaimana mungkin, nama beliau di berbagai media    selalu disebut sebagai lulusan PhD dari Universiteit van Amsterdam..? 
EMPAT
Kalau    memang beliau adalah lulusan PhD dari Universiteit van Amsterdam    sebagaimana yang beliau akui, lalu mengapa saat ini, beliau menghapus    semua keterangan tentang riwayat pendidikan beliau di berbagai situs    yang menampilkan profil atau CV beliau..? Dulu di situs LinkedIn,    MySpace, profil Kompasiana, profil di perusahaan beliau, beliau selalu    menyatakan diri sebagai lulusan PhD bidang Ekonomi Makro, Universiteit    van Amsterdam. Record ini masih bisa dilacak di search engine Google    sampai hari ini – dan sebagian besar sudah saya scan dan saya lampirkan    dalam email ini. Namun, kalau kita membuka situsnya (tidak dari   Google),  keterangan bahwa beliau adalah lulusan PhD dari Amsterdam   sudah  dihapuskan. Apa yang sebenarnya terjadi..? 
LIMA
Upaya    konfirmasi kepada beliau sudah dilakukan oleh banyak pihak. Melalui    media Twitter (yang seringkali digunakan oleh beliau), banyak pihak –    termasuk Pak Buni Yani di Leiden University, saya, Ibu Aprina Murwanti    (University of Wollongong), pak Agung Tri Setyarso (Jepang),  dan   lain-lain – meminta  kepada beliau untuk menyebutkan (1) judul   disertasi/penelitian PhD  beliau, (2) nama supervisor PhD beliau, dan   (3) tanggal defense sidang  PhD di Universiteit van Amsterdam,   namun tidak pernah dijawab  dan tidak pernah direspon. Padahal, kalau   memang (misalnya) terjadi  kesalahan dalam system database di   Universiteit van Amsterdam yang  menyebabkan nama beliau tidak tercatat   sebagai student maupun sebagai  lulusan – informasi tentang judul   penelitian dan nama supervisor serta  tanggal defense itu bisa digunakan   tidak hanya untuk  mengkonfirmasi gelar PhD beliau, tapi juga untuk   menyampaikan  terjadinya kesalahan pencatatan dalam database universitas   sekelas  Universiteit van Amsterdam. Konfirmasi juga bisa dilakukan   langsung  kepada supervisor beliau, bukan..? Komputer dan database bisa   saja  mengalami error, tapi semestinya supervisor beliau akan masih   mengingat  beliau sebagai salah satu mahasiswa bimbingan PhD-nya. Sayang   sekali,  beliau tidak bersedia menyebutkan tiga informasi yang kami   tanyakan di  atas. 
Proses    korespondensi antara rekan Buni Yani dan Kartika Djoemadi – di    awal-awal munculnya “pertanyaan” tentang benar tidaknya gelar PhD    tersebut, bisa dilihat di attachment “Korespondensi Email Dee Kartika”. 
Dengan    rentetan kejadian ini, mau tidak mau, wajar saja jika muncul   kecurigaan  saya bahwa telah terjadi kecurangan atau mungkin kejahatan   akademis –  menggunakan gelar akademis tanpa hak. Saya sebagai seorang   insan  akademik merasa sangat terusik dengan hal ini. Yang membuat saya   jadi  gelisah adalah bahwa ada seseorang yang aktif di berbagai   organisasi  kemasyarakatan, aktif di Partai Politik, dan aktif pula   menjadi tenaga  pengajar dan peneliti yang menggunakan gelar PhD   tersebut tanpa hak.  Dan, sayangnya, beberapa orang yang mengetahui   kasus ini memilih untuk  berdiam diri – ada yang beralasan “tidak mau mengorek-ngorek aib orang”, ada yang beralasan “demi persahabatan”, dan lain-lain. 
Saya juga tidak paham, bagaimana Kemendiknas atau Dikti/Ditnaga atau Universitas Indonesia atau Universitas Paramadina atau lembaganya Paramadina Public Policy Institute akan merespon dugaan pemalsuan gelar ini.
Masa   sih, mereka tidak tahu keributan yang terjadi di media Twitter  selama   hampir dua minggu ini..? Ataukah ini memang bukanlah kejahatan   akademik  sebagaimana yang saya kira selama ini..? Apakah memang benar,   bahwa  seseorang boleh saja dan sah-sah saja menyematkan atribut PhD   (tanpa  harus benar-benar memperolehnya secara sah) - lalu menggunakan   atribut  itu untuk tampil sebagai pembicara, sebagai peneliti di sebuah   lembaga  riset, sebagai dosen, dll..? Saya hanya berpikir, kalau  kejadian   seperti ini kita diamkan selamanya, niscaya hal seperti ini  akan   menjadi sesuatu hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Betapa    mengerikannya apabila hal itu  betul-betul membudaya di dunia pendidikan   Indonesia. 
Di    sini, saya tidak bermaksud untuk mengorek-ngorek aib yang   bersangkutan.  Saya juga tidak berminat untuk jadi pahlawan kesiangan.   Saya tidak  kenal beliau secara personal, dan saya juga tidak kenal   Marissa Haque  yang sempat menjadi “musuh online” beliau. Posting ini   saya tujukan di  milis ini (1) sebagai bentuk keprihatinan saya akan   kejadian yang sangat  menyedihkan ini, (2) sebagai upaya “perlawanan”   atas kejahatan akademis  yang mungkin telah terjadi tapi tidak terlalu   diperhatikan, dan (3)  sebagai upaya permintaan tolong seandainya   rekan-rekan Diktiers semua  memiliki pandangan atau ide tentang apa yang   sebaiknya dilakukan untuk  menghadapi masalah ini. 
Demikian    informasi ini saya sampaikan, semoga bermanfaat, dan menggugah kita    semua untuk berbuat sesuatu. Maaf apabila ada rekan-rekan yang kurang    berkenan dengan posting ini.  Maaf juga karena saya  terpaksa   melampirkan attachment yang ukurannya sangat besar. Mohon  dimaklumi,   karena meskipun isinya adalah file yang saya cetak dari  Internet,   sebagian besar file tersebut sudah susah untuk diakses (ada  yang sudah   dihapus, dll), terutama kalau kita tidak terlalu menguasai  trik-trik   pencarian menggunakan search engine. 
Terima kasih
Wassalaumalaikum wr.wb. 
SONY KUSUMASONDJAJA
 "Hari Ini Saya Masih Diserang oleh Dee Kartika Djumadi (Diduga Penjahat Cyber):  Mohon 
 Dibaca oleh Dr. Arif Satria, Prima Gandhi (HMI), Alvin Adam (Just Alvin), Addie MS & Memes"











